Oleh: Kristin Samah
TIMIKA (2/10/2019)—Di Jayapura diciptakan opini, mahasiswa dipanggil pulang untuk memboikot pendidikan. Di Wamena dikabarkan, guru rasis terhadap siswa. Di Timika disebar informasi, aparat dan masyarakat pendatang akan meracuni penduduk lokal.
Ketika penyebaran informasi sesat dan palsu begitu mudah menggerakkan amuk massa, tidak perlu membangun pasukan untuk mengobarkan perang. Cukup mempelajari isu sensitif yang sedang berkembang, membuat narasi yang berpotensi menggerakkan massa, kemudian sebarkan.
Selama sepekan berada di Jayapura, Wamena, dan Timika, pola penyebaran informasi sesat itu masih terus dilakukan. Rakyat dikuasai orang-orang yang memelihara ketakutan dan kecemasan dengan menciptakan informasi tentang akan datangnya kerusuhan susulan.
Di Jayapura, sejumlah mahasiswa yang ditemui mengaku dipaksa kakak-kakak senior, meninggalkan kota-kota tempat mereka menuntut ilmu, atas dasar solidaritas bangsa Papua. Ada yang menyebut kakak-kakak senior itu berasal dari AMP atau KNPB. Sampai di Jayapura, mereka tak tahu harus berbuat apa.
Di Wamena, paska kerusuhan disebar kabar aparat keamanan dan para perantau akan menyisir penduduk lokal. Alhasil penduduk asli Wamena ketakutan. Masyarakat yang sudah mulai beraktivitas pun saling menaruh syak.
Di Timika, sempat terjadi pembakaran warung karena makanan yang dibeli, konon membuat binatang peliharaan mati. Kemudian beredar isu aparat keamanan dan warga pendatang akan meracun penduduk lokal.
Kapolres Jayawijaya AKBP Tony Ananda mengantisipasi penyebaran isu dengan menemui tokoh masyarakat dan rumah-rumah ibadah.
Demikian halnya Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto, melakukan hal yang sama. Ia juga membangun jaringan informasi di sosial media. Nomor telepon Kapolres dan seluruh pejabat utama disebar untuk reaksi cepat atas informasi masyarakat. Timika menjadi salah satu kota di Papua yang relatif kondusif.
Di era post thruth, seperti dikemukakan Ralph Keyes, ketidakjujuran dan dusta sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Sama dengan kota lain, Papua pun gagap terhadap perubahan era.
Daerah-daerah di pegunungan tengah tidak semua terjangkau jaringan telepon dan internet. Penyebaran informasi sesat tidak selalu melalui sosial media. Cukup satu dua orang datang ke sekolah dan pasar untuk menyebarkan informasi palsu atau sesat, dijamin aktivitas pun lumpuh.
Tidak perlu mengumpulkan massa untuk membuat amuk. Cukup isu dan memelihara ketakutan. Kesigapan aparat mengantisipasi model kerawanan era post truth itulah yang menjadi salah satu kunci menjaga stabilitas keamanan. (*)