Oleh: Kristin Samah
JAKARTA (22/8/2019)—Siapa bermain di Papua? Pertanyaan itu langsung dijawab spekulasi-spekulasi tentang skenario besar ala-ala teori konspirasi.
Terlepas apa persoalannya, umpatan rasialis yang ditujukan ke adik-adik mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, sangat melukai hati. Di belahan bumi mana pun, makian rasialis patut dikutuk.
Kapolda Papua Barat Brigjen Herry R Nahak merasakan suasana kebatinan masyarakat di Manokwari ketika rekaman peristiwa di Jawa Timur itu menyebar melalui sosial media. Bukan hanya mahasiswa yang turun ke jalan, masyarakat umum, bahkan mama-mama turut mengungkapkan kekesalan atas peristiwa itu.
Sejak awal ia menangkap orang Papua merasa termarjinal sehingga bisa dimengerti bila umpatan itu menjadi sangat sensitif. Di Papua, terutama perkotaan, jumlah pendatang terus bertambah mengimbangi penduduk asli.
Soal itu sudah mengemuka sejak Papua masih bernama Irian Jaya dan gubernurnya masih Izaac Hindom. Percakapan antara Gubernur Irian Jaya dan Gubernur Jawa Tengah Ismail yang disebarkan kembali melalui sosial media membuktikan bahwa fenomena displacement orang asli Papua sudah lama menjadi salah satu simpul kerawanan.
Amuk Papua membuat Manokwari lumpuh. Gedung DPRD dibakar. Kemarahan meluas sampai ke Sorong dan Fakfak. Begitu kemarahan meluas, penunggang gelap mulai memainkan isu, termasuk masuknya politik kontemporer dan masalah laten, keinginan melepaskan diri.
Gerakan massa di Fakfak, disertai dengan upacara pengibaran bendera bintang kejora, tak lagi murni tentang penghinaan. Politisi-politisi lokal pun menyuarakan berbagai persoalan tentang kesenjangan pembangunan, persentase keterwakilan politik, atau bahkan sisa-sisa kekesalan pemilu.
Sekecil apa pun api yang disulut di Papua, selalu ada yang menunggu untuk meniup, bahkan menyiram bahan bakar. Ujian belum selesai. Langkah TNI/Polri bersama Pemerintah Daerah dan seluruh tokoh masyarakat untuk menenangkan massa masih perlu terus diintensifkan.
Meredakan amuk Papua bukan hanya tugas TNI/Polri dan Pemerintah. Tugas itu menjadi kewajiban seluruh anak bangsa. Kita harus memeluk Papua, sama halnya kita juga harus memeluk Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Riau, Bali, Timor, Madura, dan Jawa.
Dan sekalipun dari Yogyakarta beberapa tahun terakhir muncul kasus-kasus intoleran, pernyataan Gubernur Sultan HB X cukup menyejukkan. Tidak perlu menjadi orang Jawa untuk tinggal di Yogyakarta. Di mana pun di Indonesia, kita tidak harus kehilangan identitas diri. Cukup menjadi orang Indonesia yang bisa rukun berdampingan saling menghormati, dalam tamansari nusantara. (*)