Ad imageAd image

Penjaga Peradapan:
Dari POLRI Untuk Papua

112 Views
6 Min Read

Oleh: Eko SUDARTO

Pameran photo dan talk show yang digelar oleh Binmas Noken Polri secara resmi dibuka oleh Karo PID (Pengelola Informasi dan Dokumentasi), Divhumas Polri, BJP. Drs. Syahardiantono, M.Si mewakili Kadiv Humas Polri pada 13 Mei 2019. Tema agenda tersebut adalah, “Penjaga Peradaban: Dari Polri Untuk Papua” di Perpustakaan Nasional, Jl. Merdeka Barat, Gambir, Jakarta ini merupakan ungkapan kasih sayang tulus dan tanggung jawab moral Polri kepada seluruh Masyarakat, khususnya saudara kita di Pegunungan Tengah Papua. Polri hadir berdampingan dengan mereka ditengah-tengah perubahan sosial dan teknologi dunia yang begitu masif dewasa ini.

Istilah “peradaban” dalam bahasa Inggris disebut civilization, yang secara umum dimaknai sebagai bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah, dan maju. Sedangkan lebih luas adalah kumpulan sebuah identitas dari seluruh hasil budi daya manusia, mencakup seluruh aspek kehidupannya, baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun ilmu pengetahuan dan teknologi), yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum (bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi) maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.

Seorang Ilmuwan Amerika bernama Jared Diamond dalam bukunya “The World Until Yesterday” (2018), mendiskripsikan bahwa dunia “zaman purba” itu baru saja terjadi kemarin. Pemikiran Jared didasari pada penelitiannya selama bertahun tahun tentang burung (ornithologist) di Papua Barat (Indonesia), Papua New Guinea maupun Kung-Afrika, India-Amerika dan Aborigin-Australia. Catatan khususnya tentang Papua mendiskripsikan tentang pergumulannya dengan 10 (sepuluh) suku disana.

Secara sederhana Jared menegaskan bahwa dibalik kemajuan teknologi dan informasi yang saat ini melanda dunia, ternyata masih tersisa peradaban kemarin, khususnya di Pegunungan Tengah Papua. Dunia modern saat ini, baru berlangsung sebentar dalam sejarah manusia. Selama lebih dari 6.000.000 (enam Juta) tahun yang lalu, manusia hidup dalam ” dunia kemarin” yang saat inipun masih tersisa di masyarakat tradisional yang sangat kuno, sebagai pemburu-peramu!

Sejarah peradaban manusia 11.000 (sebelas ribu) tahun yang lalu, menghasilkan masyarakat pemburu-peramu. Pada 7.000 (tujuh ribu) tahun kemudian, fase peradaban berubah dengan penggunaan peralatan metal atau besi. Menyusul peradaban tulisan hingga terbentuklah istilah negara pada 5.400 (lima ribu empat ratus) tahun kemudian. Pembentukan negara diawali sejarah panjang, berupa kumpulan masyarakat yang bermula dari band (beberapa puluh), suku (beberapa ratus) hingga chiefdom (beberapa ribu).

Negara merupakan entitas modern yang terbentuk sebagai komitmen kebersamaan dan kesepakatan. Negara harus hadir (exist) di setiap proses perubahan sosial dan dinamikanya, sehingga perlu diciptakan alat-alatnya sebagai bagian dari kelengkapan penjaga komitmen dan kesepakatan tersebut. Dan terbentuklah salah satu alat negara yang dinamakan Polri, dengan mandat undang-undang sebagai “Penjaga Peradaban”. Sebagai Penjaga Peradaban, maka Polri harus bertindak sebagai pejuang kemanusiaan dan penjaga kehidupan.

Kapolri Jenderal Polisi Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A, Ph.D memahami berbagai gejolak dan permasalahan perubahan sosial di Papua. Hal ini sejalan dengan pandangan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang teridentifikasi dalam The Road Map Papua. Adapun identifikasi permasalahan tersebut sebagai berikut; pertama, masalah sejarah dan status politik; kedua, merjinalisasi dan diskriminasi; ketiga, kegagalan pembangunan; dan keempat, kekerasan dan pelanggaran HAM.

Sebagai praktisi, Jenderal Tito Karnavian, Phd, begitu memahami dan memiliki kepedulian (concern), bahwa yang menjadi dasar dari semua permasalahan pada masyarakat di Pegunungan tengah Papua adalah rendahnya kualitas kehidupan, terutama kesejahteraan dan pendidikan. Dengan demikian, kebijakan membentuk Operasi Nemangkawi menjadi solusi bagi pemecahan masalah tersebut. Salah satu fasilitasnya adalah pembentukan Satuan Tugas Polri yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan (soft approach), yaitu Satgas Binmas Noken.

Noken bagi orang asli Papua bukan sekedar tas, kantong, atau bahkan wadah untuk membawa barang. Bentuk dan bahan baku noken yang unik, yaitu dari kulit kayu, akar, atau batang ilalang, sangat ramah lingkungan. Dari alam kembali ke alam. Bentuknya yang lentur sering diidentikan dengan kemampuan menampung banyak barang. Tak heran bila noken digunakan untuk membawa hasil bumi, bahan kebutuhan pokok, sampai mengangkut ternak dan menggendong bayi. Meskipun berbeda-beda sebutan, semua suku di Papua mengenal noken sebagai representasi budaya orang Papua. Secara filosofi-kultural, Noken merupakan simbol kehidupan, martabat dan peradaban yang menjadi alat pemersatu keanekaragaman suku dan adat budaya orang Papua.

Kehadiran Polri dalam rupa yang humanis dalam kemasan Satgas Binmas Noken, diharapkan bisa merebut hati dan pikiran orang Papua. Operasionalisasinya digelar di 11 (sebelas) wilayah Pegunungan Tengah Papua adalah berupaya menjembatani kehidupan masyarakat peramu-pemburu menjadi masyarakat agraria (peternak, peladang dan petani). Polri mendampingi Masyarakat melakukan beberapa program, berupa ternak babi, sapi, kambing, ayam, dan lebah madu. Masyarakat yang secara turun-temurun menggantungkan hidup dari hasil bumi dengan cara mengumpulkan dan meramu dari hasil hutan, diajak belajar membuka kebun-kebun pertanian maupun perkebunan. Dan dalam program “Polisi Pi Ajar” atau Polisi Pergi Mengajar, membawa angin perubahan bagi setidaknya 100 (seratus) anak-anak Pegunungan Tengah Papua. Mereka dikenalkan dengan dunia yang berbeda, baik secara fisik maupun psikis, yaitu belajar dalam suasana gembira dan puncaknya adalah melihat peradaban di kota modern, Jayapura!

Filosofi Noken yang sangat lentur menampung keluh kesah, menjadi tempat bagi masyarakat mengadukan berbagai persoalan dan mencarikan solusinya, hendaknya tetap tertanam di hati sanubari anggota Polri. Satgas dengan pendekatan soft approach itu untuk memberikan solusi agar masyarakat berproduksi mengisi pembangunan dan tidak berfikir membuat masalah.

Akhirnya, kita semua bisa sepakat, bahwa, “Hari kemarin, hari ini dan hari esok adalah milik kita,…milik peradaban.”

“Salam NOKEN”

Share this Article