Oleh: Kristin Samah
JAKARTA (17/5/2019)—Di salah satu sudut pasar Wamena terdapat lapak penjual handphone. Di situ dijual handphone bekas berbagai merek baik sebab pemilik pertama bosan atau karena rusak kemudian diperbaiki.
Tak ada yang perlu diceritakan dari lapak itu kalau Hermawan Sulistyo tidak melihat seorang pria mengenakan koteka, bertransaksi di lapak itu. Peradaban apakah yang dijalani Papua saat ini? Pertanyaan itu dilontarkan Peneliti Utama LIPI, Hermawan Sulistyo yang sering dipanggil Kikiek.
Peradaban bukan sebuah perjalanan linear dimulai dari zaman batu hingga zaman teknologi modern. Kalau koteka dianggap representasi zaman batu, bagaimana peradaban itu bisa bertemu dengan handphone, produk teknologi modern.
Pertemuan peradaban yang potensial membuat masyarakat gagap itu dibahas dalam Talkshow “Penjaga Peradaban, dari Polri untuk Papua”. Selain Kikiek tampil sebagai pembicara Dr. Adriana Elizabeth, Lutfi Rauf, dan Oscar Motuloh. Talkshow merupakan rangkaian Pameran Foto bertajuk sama yang berlangsung 13-24 Mei di Perpustakaan Nasional, Medan Merdeka Selatan.
Pameran Foto menggambarkan pendekatan kemanusiaan yang dilakukan Binmas Noken di Pegunungan Tengah. Polri mendekati masyarakat Papua melalui pemberdayaan ekonomi, pendidikan, trauma healing, dan berbagai kegiatan lain yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Apakah adat kebiasaan dan cara hidup yang merupakan buah peradaban Papua harus ditinggalkan?
Rumah model honai yang tidak sehat karena asap dari api dapur terhirup hingga menyebabkan penyakit infeksi pernafasan, memang harus diganti honai sehat. Namun kearifan lokal nonfisik yang merupakan nilai-nilai luhur orang Papua harus terus dipertahankan.
Pameran Foto dan Talkshow yang dilakukan Binmas Noken ini seperti ingin mengingatkan, Papua tidak bisa dilihat dari kacamata Jakarta. Lihat Papua dengan bahasa cinta, ujar Lutfi Rauf, Deputy bidang Koordinasi Politik Luar Negeri, Kemenkopolkam. (*)