Hadirkan Keceriaan Di Senyuman Anak-Anak Pegunungan Tengah Papua
Oleh; Eko SUDARTO1Kasatgas Binmas Noken Polri dan Dr. Ilmu Kepolisian.
“Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.” (Buya Hamka)
Ungkapan bijak yang melegenda tersebut disampaikan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya HAMKA2Buya HAMKA seorang pembelajar otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Sebagai menteri agama dan aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun., seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus besar negeri ini. Tentu kita semua sepaham, bahwa anak-anak adalah “asset” bangsa yang harus dijaga dan dirawat untuk tumbuh dan berkembang dengan kemerdekaan anak-anak, berupa keceriaan dalam senyuman. Dengan senyuman dunia seakan terbebas dari kedengkian dan caci maki serakah umat manusia.
Keceriaan dan senyuman menjadi tujuan dari program “Polisi Pi Ajar” disingkat PPA, artinya “Polisi Pergi Mengajar” yang dilaksanakan oleh Binmas Noken. Program yang menjadi kewajiban bagi 114Lihat tulisan Binmas Noken: “Kearifan Lokal Dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua”, link ada di bawah artikel ini. (sebelas) wilayah implementasi program di Pegunungan Tengah Papua. Didalamnya sarat akan muatan “trauma healing” yang sangat didambakan oleh penggiat kemanusian dan bahkan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sangat mendukung. Karena dalam program PPA menghadirkan suasana lain, yaitu metode pengajaran melalui mendongeng.
Dalam suatu kesempatan mendampingi PPA bersama pendongeng Dakocang dari Lampung, pada 23 Februari 2019. Kami mengunjungi SD Inpres Epsiding, Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang. Ibu Kepala Sekolah menyambut kami dengan hangat. Edward sangat dikenal dan disenangi oleh mereka semua, tentunya anak-anak Sekolah Dasar dari kelas 1 hingga kelas 5. Hal tersebut terlihat dari kegirangan dan keriangan saat mereka melihat Edward.
Setelah memberikan sekedar pengantar, berupa perkenalan pembuka, yang disambut antusias dan semangat. Maka giliran Mbak Iin dan team mendongeng beraksi. Mas Ivan dan Mbak Iin adalah suami-istri yang sudah hampir 16 (enam belas) tahun mendirikan “Dongeng Dakocang” di Lampung. Keberadaannya untuk memperkuat team PPA Binmas Noken, selain itu melakukan pendampingan PPA, juga berbagi kemampuan “mendongeng” kepada para pengajar, aktivis pendidikan dan anggota Babinsa maupun Bhabinkamtibmas di Pegunungan Bintang. “Mendongeng harus ditumbuhkembangkan di tanah air, khusunya tanah Papua”, semangat Mas Ivan dalam suatu kesempatan.
Kemampuan, kepiawaian dan keahlian Mbak Iin membaca suasana hati dan pikiran anak-anak, menjadikan cerita yang dibawakannya begitu nikmat didengar dan diikuti. Diiringi dengan petikan gitar yang selalu dibawa oleh Mas Ivan, ceritapun seolah hidup dan “nyata” di telinga dan hati pendengar, terutama anak-anak. Semua mata terpesona dan telinga terbuai. Semua tersenyum puas tersirat hingga dongeng berakhir. Semua anak tersenyum puas…, senyuman anak-anak pegunungan Bintang. Senyum khas mereka menyapa dunia.
Di Papua, senyum merupakan hal yang khas dan sudah menjadi kebiasaan, apalagi jika sudah akrab (familiar), maka bertemu dengan “anana” (Anak-anak) Papua, oh..Indahnya. Anana ini pasti menyapa duluan dengan senyum manis dan tulusnya yang lugu dan polos, “Selamat pagi, Bapa…”, sapa anak-anak dengan senyuman anak kecil, tatapan mata dan simpul bibir seakan menggambarkan, kalo dia bahagia, tanpa beban, dia menikmati keadaan dengan teramat sangat senang dan ikhlas. Senyuman anak-anak membuat hati siapapun yang melihatnya menjadi luluh. Senyuman malaikat kecil itu membuat hari yang sulit terasa lebih mudah dan indah”. Senyum yang membawa kebahagiaan dengan siapapun yang bertemu dengannya. Senyum adalah bahasa tubuh, dengan senyuman berjuta keindahan akan datang dan terus menghampiri.
Psikolog Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo dalam pandangannya memaparkan bahwa makna dari senyuman anak mengindikasikan adanya aura (emosi) positif. Menurutnya, senyuman selain bentuk komunikasi si kecil dalam merespon sesuatu yang menyenangkan, juga menjadi indikator penting dalam perkembangan keterampilan sosial anak.
Senyuman anak berdampak pada emosi dan perilaku orang di sekitarnya. Dicontohkan, saat seorang ayah tiba di rumah dari kantor, perasaan lelah hilang ketika melihat buah hatinya tersenyum. Maknanya adalah saat seseorang tersenyum, maka bagian otak yang mengatur emosi bahagianya diaktifkan. Di samping itu, senyuman turut mengurangi hormon pemicu stres dan meningkatkan hormon pembangkit selera (mood) serta menurunkan tekanan darah. Pikiran pun menjadi lebih jernih dan ringan (enteng).
Para orang tua dewasa ini sudah mulai menghargai pendapat dan perasaan anak-anak. Mereka takjub dengan kemampuan belajar anak yang lebih cepat. Anak-anak mampu mengerjakan sesuatu dengan jelas, lebih praktis dan tidak teoritis seperti orang dewasa pada umumnya. Beberapa bukti menguatkan bagaimana anak-anak mampu memengaruhi orang dewasa. Misalnya, anak-anak di Nigeria yang telah membantu mengubah perilaku komunitasnya untuk lebih memerhatikan sanitasi dan higienitas mereka (WES Project – UNICEF di Nigeria – 2003). Kemudian anak-anak di Mesir yang mampu mengubah pemahaman orang tua mereka tentang pencegahan penyakit menular.
Kembali pada senyum anana Papua, khususnya di Daerah Pegunungan Tengah seharusnya menjadi pengingat kita akan nikmat Tuhan di Alam ini. Sesungguhnya anana memberikan contoh kebahagiaan dan keindahan itu cukup mudah dan kita sendiri yang bisa menciptakannya. Mereka secara langsung dan tanpa sadar telah menyebarkan kebaikan kepada semua orang, dan itulah adalah kunci dari kebahagiaan Hidup, yaitu senyuman.
Buat anana Papua tercinta, melihat senyummu adalah ungkapan rindu yang tak pernah redup, akan kerinduan pada orang tua, kerinduan akan Sang Pencipta. Ingin rasanya selalu bisa tersenyum seperti mereka, senyum yang benar-benar tulus, tanpa khawair dan beban. Mampukah kita tetap menjaga senyuman mereka itu agar selalu menyapa dengan tulus?
Pandangan Buya HAMKA diatas sejalan dengan Santo Ignatius, seorang teolog katolik dan pendiri Serikat Yesus (SY), misi kongregasi di bidang pendidikan di seluruh dunia, bahwa, “Ajarkan kami untuk memberi dan tidak memperhitungkan biayanya”. Untuk itu, Jangan biarkan senyuman ini hilang dari wajah mereka. Teruslah membuat mereka tertawa dan tersenyum, ambil kamera lalu minta mereka…”say cheese”.
Note:
Lihat tulisan; Binmas Noken: “Kearifan Lokal Dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua”