Ad imageAd image

Binmas Noken:
“Kearifan Lokal Dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua”

964 Views
23 Min Read

Oleh; Eko SUDARTO1Dr. Pada Kajian Ilmu Kepolisian, Kasatgas Binmas Noken Polri, Ops. Nemangkawi 2019 (2/27/2019)

Tulisan santai ini menguraikan pandangan dan pengalaman, baik sebagai pribadi (agen) maupun personil Polri (agensi) yang berada di “Surga Kecil yang jatuh ke bumi”, yaitu Papua. Tentu banyak pendapat subyektif yang semua itu dilatarbelakangi kekaguman dan ketakjuban karena kebesaran Illahi untuk tanah ini. Karenanya perlu kebijaksanaan pembaca dalam menyikapinya. Mari tong baca sudah…

Lamunan Di Atas Awan

“Sa so rasa Papua ni macam sapu tanah kelahiran”, lamunanku melayang. Terbayang, bahwa keragaman sosial budaya Papua menjadi melting pot kekayaan Indonesia. Selain memang unik luar biasa, kekhasan bumi Papua dipenuhi oleh sejuta pesona, baik kebudayaan tradisionalnya maupun kekayaan alam yang nggak ternilai harganya. Tak melulu soal emas di Tembagapura atau kabarnya juga uranium, tanah Papua juga sangat kaya akan keanekaragaman flora dan fauna-nya. Saya yakin dan percaya bahwa masih terdapat banyak sumber daya, suku bangsa, jenis hewan dan tumbuhan di sini yang belum teridentifikasi.

Saya tersadar saat berada diantara awan putih yang menyilaukan pada ketinggian diatas 23.000 feet. Tersadar dalam penerbangan dari Puncak Jaya menuju Timika pada Senin, 22 Oktober 2018. Terbang kali ini dengan pesawat jenis Pesawat Cessna Grand Caravan EX yang memiliki daya angkut 12 (dua belas) penumpang atau sebesar 1,350 kg. Entah sudah berapa kali saya melakukan penerbangan dengan pesawat kecil sejenis ini selama operasi ini berlangsung.

Teringat pada petugas bandara yang memberitahukan, bahwa “Biasa jadwal pesawat ke Timika hari Selasa, tapi kebetulan ada pesawat “carteran” naik dari Timika, jadi dong bisa bawa penumpang balik ke Timika”, demikian penjelasan petugas di bagian cargo Bandara Puncak Jaya. Dan benar saja, pesawat dengan kapasitas 12 (dua belas) sampai 16 (enam belas) orang tersebut hanya ditungangi 6 orang, termasuk kru pesawat. Terlalu seru untuk dituliskan perjalanan tersebut.

Terbang antar kabupaten di Wilayah Pegunungan Tengah Papua menjadi suatu hal yang tak terelakkan sejak April 2018 lalu. Penerbangan merupakan sarana utama di Papua, karena akses jalan darat belum sepenuhnya mampu menghubungkan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Penerbangan dari dan ke Timika, Jayapura, Wamena menembus pegunungan Lanny Jaya, Yahokimo, Nabire, Mulia Puncak Jaya hingga Ilaga, Puncak. Sasaran berikutnya tentu Pegunungan Bintang dan Paniai. Beruntung “journey” dan melihat lokasi baru merupakan satu aktivitas yang menyenangkan.

Penugasan kali ini membawa nuansa berbeda, sangat spesial karena selain merasa “matang” sebagai seorang anggota Polri, juga exiting karena memiliki ketertaikan luar biasa untuk kembali bertugas di Papua. Jika flassback sedikit, saya mengawali tugas sebagai Perwira Remaja Polri di Merauke tahun 1992, kemudian berpindah sebagai Kapolsek di Dok. 8, Jayapura Utara, kemudian beberapa saat bertugas di Bidang Operasi Polda Papua (Irian Jaya saat itu), bergeser sebagai Kepala Bagian Operasi di Polres Mimika di tahun 1998 dan mengemban tugas sebagai Kasat Sabhara di Polres Sorong di tahun 1999, hingga akhirnya menempuh pendidikan pengembangan ke PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di Jakarta. By the way, saya tidak ingin berlama-lama bernostalgia dengan mengenang perjalanan karier tugas tersebut.

Bertugas dalam kapasitas agensi sebagai Kepala Satuan Tugas Khusus (Kasatgassus) Binmas pada Operasi Khusus Papua 2018 ini merupakan “anugerah Allah SWT” buat saya. Betapa tidak, Pimpinan Polri mengalokasikan budget anggaran yang begitu besar kepada Satgas Binmas Noken untuk membantu mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Papua. Tentu rasa syukur atas kebesaran Illahi yang memberikan Polri seorang Pemimpin (Kapolri) yang peduli dan atensi pada bumi Cendrawasih ini.

Konsep Besar Pemikiran Kapolri

Jenderal Polisi Prof. Tito Karnavian, PhD, sebagai Kapolri dalam pernyataannya menyatakan bahwa perubahan citra dengan cara kerja professional di iklim demokrasi harus dipedomani. Kebijakan yang membentuk Polri memiliki Profesionalisme, Modern dan Terpercaya (Promoter) bermakna dukungan penuh terhadap pencapaian masyarakat madani. Implementasi akademik dari kebijakan tersebut tertuang dalam bukunya, yang berjudul “Democratic policing”. Konsep “Democatic Policing” merupakan komitmen Polri untuk mengawal keseimbangan antara ketertiban publik dengan Hak Asasi Manusia dalam mengisi pembangunan.

Sebagai seorang akademisi dan pimpinan tertinggi institusi Kepolisian Republik Indonesia saat ini, Bapak Kapolri memiliki konsep besar dalam membantu penyelesaian masalah-masalah di Papua. Hal ini bukan saja terkait kedua kapasitas tersebut, namun karena hati dan pikiran beliau terlanjur “mencintai” tanah Papua, apalagi dengan riwayat penugasannya sebagai Kapolda ke-24 (Periode 2012 s/d 2014). Masalah Papua adalah masalah yang serius bangsa yang memerlukan penanganan sinergis dan simultan dari semua elemen pemerintahan dan lembaga. Secara sederhana beliau mengidentifikasikannya menjadi 3 (tiga) substansi pokok permasalahan di Papua, yaitu masalah marginalisasi, genosida dan masalah hak asasi manusia. Ke-3 masalah tersebut masih meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Papua dan perlu proses panjang mengobati luka tersebut.

Terhadap masalah-masalah marginalisasi dan genosida, sangat sulit ditemukan saat ini di belahan dunia manapun, apalagi di Papua. Namun masalah HAM sangat memungkinkan terjadi jika aparat tidak memiliki komitmen kuat dalam menjalankan tugas-tugasnya. Karenanya, para pengiat HAM dan rakyat Papua yang berseberangan pendapat dengan keutuhan negara, senantiasa mencari celah untuk menjadikan isu-isu tersebut ditarik ke ranah internasional. Menghadapi situasi tersebut, kebijakan Kapolri untuk masyarakat dan rakyat Papua adalah “to win the heart and mind”. Lalu bagaimana menerjemahkan pemikiran besar Kapolri tersebut?

Polri, memiliki fasilitas yang berfungsi membangun interaksi dengan masyarakat melalui metode soft approach, yaitu Fungsi Binmas. Soft approach atau soft Power berfungsi sebagai jalan untuk mengubah persepsi kebencian aparat Polri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara membangun komunikasi berupa dialog-dialog interaktif. Mekanismenya dapat dilakukan dengan cara menjaga tindakan dengan strategi-strategi yang cenderung bergerak pada arah tindakan non fisik sebagaimana pendapat Joseph S. Nye.

Polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dengan fungsi sebagai “teman masyarakat”, agen pencari solusi keadilan, menghormati kearifan lokal, agen penjaga persatuan, dan penindak pelanggaran hukum dengan cara-cara yang lebih manusiawi (soft approach). Hal ini selaras dengan mawrah tugas kepolisian di berbagai belahan dunia (universal), yaitu community policing, democractic policing, serta community development.

Konsep Binmas Noken berawal dari keinginan kuat dari Brigadir Jenderal Hery Nahak selaku Kepala Operasi khusus ini untuk mengganti konsep Binmas Pioneer, agar lebih membumi (local wisdom). Maka diskusi pencarian nama pun tak dapat dihindarkan. Terkadang ada Kaka Mathius Fakhiri, Kaka Patrige Renwarin, Ade “Pajero” atau Rontini, Ade John Isir, Ade Afred Papare, Ade Semi dan anggota Satgas lainnya. Tak terhitung berapa kali pertemuan dilakukan, walaupun materi pertemuan bukan sekedar mencari konsep “nama” yang pas untuk Satgas Binmas, namun pada setiap pertemuan selalu menjadi bahan diskusi. Tak lepas, MOP (joke-joke khas Papua) senantiasa mewarnai setiap pertemuan. Ada banyak usulan nama-nama, seperti Cendrawasih, Matoa, Honai, dan lain-lain, namun dirasakan belum juga sesuai dengan selera dan harapan. Hingga pada satu kesempatan, ditemukan satu kata yang bisa melekat cocok dan “pas”, yaitu Noken. Makna Noken tentu menjadi bahasan tersendiri pada tulisan ini.

Kembali kepada sejarah awal, apa itu Binmas Pioner? Dalam pandangan saya, konsep Binmas Pioner yang dibentuk pada era tahun 1991 oleh Kapolda Papua pada saat itu, yaitu Bapak Hindarto dan dikembangkan dengan kebijakan dan implementasinya oleh Bapak Muharsipin (Alm). Konsep Binmas Pioner esensinya adalah membangun interaksi petugas Polri yang telah dibekali kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk membantu masyarakat dengan memberikan contoh atau sebagai pioneer di lingkungannya bertugas. Bentuk-bentuk kemampuan tersebut adalah pertukangan, pertanian, perkebunan, peternakan maupun perikanan. Bahkan Pak Muharsipin membangun suatu wilayah di daerah Arso (Polres Keerom kini), yang diberi nama “Latram (Latihan Ketrampilan) Binmas Pioneer”. Di lokasi tersebut, anggota Polda Papua diberikan pelatihan, pembekalan dan ketrampilan sesuai keperluan. Alhasil, saya mengikuti 3 (tiga) kali pelatihan tersebut dan pernah memiliki lahan (spot) atas nama Polsek Jayapura Utara. Dengan kemampuan tersebut, anggota Polri bisa membantu masyarakat di lingkungannya.

Sementara konsep Binmas Noken adalah interaksi Polri langsung memberikan bantuan dan memberdayakan masyarakatnya. Dengan demikian Sumber daya menjadi begitu penting dalam hal ini. Maka political will Pimpinan Polri menjadi kuncinya. Program Binmas Noken ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), memfasilitasi pengajaran dan melakukan pendampingan kepada masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan yang digelar pada prinsipnya adalah, sesuai kebutuhan, kebiasaan, sederhana (tidak rumit) dan tidak terlalu lama. Adapun wujud kegiatannya seperti bertani, berkebun, beternak dan mengajarkan anak-anak dengan metode “trauma healing”. Sasaran akhirnya adalah masyarakat produktif dengan aktifitas pemenuhan kesejahteraan mereka dan tidak lagi berfikir membangun ideologi yang berlawanan dengan NKRI.

“NOKEN”, simbol kearifan lokal

Noken, bagi orang di luar Papua mungkin ada yang tidak tahu dan memahami, baik secara harfiah maupun filosofinya. Secara harfiah noken merupakan kantong atau tas secara tradisional khas Papua. Noken ada yang terbuat dari bahan alami, seperti tumbuhan (kulit kayu, bunga anggrek, dll), namun juga sudah banyak terbuat dari bahan-bahan modern. Noken telah menjadi salah satu kerajinan tangan khas Papua. Konon keahlian membuat noken ini didapatkan mama-mama dari para misionaris jaman Belanda. Kebiasaan yang terus mereka jaga hingga hari ini. Hingga saat ini masih dijumpai dengan mudah mama-mama yang sedang bersantai, bercengkerama sambil menganyam noken.

Kaum pria biasanya memakai noken ukuran kira-kira A-4 dan diselempangkan di bahu atau bahkan para ondo-afi (kepala suku) mengenakannya di depan. Secara filosofi, noken dimaknai sebagai wadah atau tempat untuk menampung segala aspirasi, usulan, keluhan, permasalahan warga masyarakat untuk dicarikan solusinya. Sementara kaum perempuan biasanya menggunakan noken yang lebih besar yang diletakkan di bagian belakang dengan tali yang dikaitkan di kepala untuk menenteng bawaan Biasanya hasil kebun (sayuran, umbi-umbian), kayu, anak babi bahkan anak mereka. Membawa beban seberat itu sampai berkilo-kilo meter dengan jalan kaki. Bayangkan betapa kuatnya leher dan kepala mama-mama itu. Kalau noken kecil isinya biasanya hanya keperluan sehari-hari termasuk “sirih pinang”, sedangkan tas noken yang lebih besar isinya bisa sangat beragam, disitulah Noken bermakna sebagai “kehidupan”.

Harga sebuah tas noken ini beragam, tergantung dari bahan dasarnya. Noken kecil dari bahan benang moderen harganya antara Rp.100 ribu hingga Rp.150 ribu. Sedang noken besar bisa mencapai harga Rp. 300 ribu. Noken dari
bahan serat kayu harganya jauh lebih mahal, apalagi bahan yang terbuat dari batang anggrek. Ukuran kecil harganya mencapai Rp. 1 juta hingga Rp. 3 juta untuk ukuran besar.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan bahwa alasan kuat yang menjadikan “noken Papua” diterima dan diakui serta disahkan oleh UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai warisan dunia karena terancam globalisasi dunia. Noken juga terancam punah dan mendesak untuk dilindungi, karenanya perlu dilestarikan dan dijaga sebagai suatu budaya turun temurun dari leluhur. Noken akhirnya lulus nominasi warisan budaya tak benda yang sudah diakui dan disahkan oleh UNESCO sejak 4 Desember 2012 di Paris, Perancis.

Dengan penjelasan diatas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Binmas Noken sebenarnya memiliki tugas besar yang harus diemban. Tidak bisa sekedar menjalankan proyek-proyek interaksi Polri-Masyarakat saja, namun lebih dari itu, perlu bekerja didasari oleh ketulusan hati. Sebagaimana pesan Bapak Kapolri, to win the heart and mind maka bekerja dengan hati tulus dan pikiran sehat menjadi modal bagi personil Binmas Noken Polri. Personil Binmas Noken Polri pada tahun pertama (2018) berjumlah 40 (empat puluh) orang yang tersebar di 9 (Sembilan) wilayah Polres. Sementara di tahun 2019 ini, personil Binmas Noken Polri berjumlah 81 (delapan puluh Satu) orang yang tersebar di 11 (sebelas) wilayah Polres.

Implementasi program Binmas Noken Polri

Binmas Noken Polri, dituntut untuk mampu mengimplementasi konsep “soft approach” untuk “to win heart and mind” masyarakat Papua, khususnya di Pegunungan Tengah. Dengan berbekal wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang konsep “community policing”, serta dukungan para pakar, seperti Prof. Hermawan “Kikiek” Sulistyo (Sahli Kapolri), Prof. Bambang Shergi (UI), Dr. James Riyadi (CSIS), Dr. Adriana Elizabeth (LIPI), Dr, Djuni Thamrin (UBJ), Dr. Marcel Pandin dan banyak lagi agen maupun agensi yang mendukung operasionalisasi Binmas Noken ini. Hal lain yang senantiasa harus dibangun adalah kerjasama antar Satgas dalam Operasi Nemangkawi dan tentu saja membentuk soliditas personil Binmas Noken.

Para pakar dan ahli tersebut mendampingi praktek dan interaksi Binmas Noken di lapangan dalam implementasi “nyata” untuk masyarakat, khususnya di Pegunungan Tengah Papua. Mereka semua terlibat aktif memberikan pendapat dan pandangan terhadap seluruh program dan agenda yang tergelar. Secara sederhana, kegiatan Binmas Noken yang bersifat fisik bangunan dan non fisik.

Kegiatan yang bersifat fisik bangunan terdiri dari proyek-proyek berupa spot kandang babi, spot kandang ayam, spot lebah madu, spot pertanian, spot kandang kambing, maupun spot kandang sapi. Spot kandang babi tergelar di hampir semua wilayah Polres, yaitu di 9 (Sembilan) Kabupaten, seperti Yahukimo, Mimika, Puncak Jaya, Wamena, Pegunungan Bintang, Nabire, Paniai, Jayawijaya dan Nduga.

Pada masing-masing tempat, terdapat spot kandang babi yang perkandangnya berisi 10 (sepuluh) ekor babi. Pembagian maupun pengaturan pengelolaan Babi-babi tersebut diserahkan melalui mekanisme diskusi antar warga, namun personil Binmas Noken tetap menyiapkan babi, melakukan pelatihan, bersama-sama membuatkan kandang, membantu menyiapkan pakan dan terus melakukan mendampingi. Khusus di Timika, dibangun Pusat Pelatihan Binmas Noken untuk peternakan Babi, yang memiliki kapasitas 100 (seratus) ekor.

Selain ternak babi, di Kabupaten Wamena diberikan pelatihan lebah madu. Mengapa lebah madu begitu penting? Pada sekitar awal tahun 1990-an, madu Wamena sangat terkenal, namun akhir-akhir ini, “Madu asli Wamena” sudah jarang terdengar, karenanya program Binmas Noken Polri membantu masyarakat Wamena untuk lebih berdaya dalam mengelola peternakan lebah madu. Mekanismenya sama diberikan kepada para petani, yaitu memberikan metode pelatihan dan pembimbingan. Untuk periode kedepan, ada keinginan warga masyarakat Wamena untuk memelihara kelinci. Binmas Noken Polri harus menjajagi harapan dan keinginan tersebut.

Khusus di Nabire ada 3 (tiga) spot kandang sapi yang masing-masing terisi 10 (sepuluh) ekor. Masyarakat di Nabire tinggal di dataran rendah dan bersosialisasi dengan warga transmigran, sehingga sudah mampu beradaptasi dengan ternak selain babi, yaitu sapi. Demikian pula dengan masyarakat di Keerom yang saat ini diberi 10 (sepuluh) ekor kambing dan masyarakat Pegunungan Bintang (Oksibil) diberi 4 (empat) ekor kambing. Dalam hal ini, pemberian kambing kepada masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mencoba memberikan fariasi kebutuhan akan daging selain daging babi.

Sedangkan di Timika, Binmas Noken Polri mecoba mengembangkan peternakan ayam kampung super yang dalam waktu 67 (enam puluh tujuh) hari sudah bisa dikonsumsi. Spot kandang yang dibangun ada 7 (tujun) kandang, dimana masing-masing kandang memiliki kapasitas produksi sebanyak 1000 (seribu) ekor.

Kegiatan bersifat fisik lainnya berupa spot perkebunan dan pertanian sementara dilakukan di Timika dan Wamena. Hal ini mengingat budaya bertani yang dilakukan oleh masyarakat pegunungan, berupa bercocok tanam, baru sebatas menanam umbi-umbian, seperti talas (hipere) singkong (kasbi) maupun ubi rambat. Sistem pertanian di bererapa wilayah di pegunungan masih perlu proses pendampingan lebih lanjut. Sedangkan untuk tanaman jangka panjang, Binmas Noken mengandeng pengiat kopi Papua, untuk melakukan pendampingan dalam proses pengolahan kopi.

Kegiatan bersifat Non Fisik (Polisi Pi Ajar) adalah satu kegiatan belajar mengajar yang didalamnya mengadung trauma healing (outdoor). Kegiatan didesign berupa aktivitas yang menyenangkan buat anak-anak, didalamnya berisi ajaran-ajaran tentang wawasan kebangsaan, pengetahuan umum, matematika dan budi pekerti. Kegiatan Polisi Pi Ajar ini dilakukan di semua wilayah sebaran program Binmas Noken. Selain melibatkan tokoh-tokoh besar dalam mekanisme kegiatannya, juga menghadirkan figur-figur instruktur maupun pelatih, baik berasal dari Papua maupun dari wilayah lain.

Dalam perjalanannya hingga saat ini, Binmas Noken-pun akhirnya menemukan dan membangun kebersamaan dengan barbagai tokoh setempat, ada Pak Musa di Timika, ada Maximus Lanny di Wamena, ada Bram Maruanaya di Nabire dan banyak lagi. Selain mereka adalah orang yang berfikiran maju, bekerja keras dan kooperatif, mereka adalah orang-orang yang mau berubah untuk kemajuan dan masa depan lebih baik.

Dinamika di lapangan

Dalam implementasi program Binmas Noken di lapangan, tentu saja terdapat banyak ekses dari dinamika yang berkembang. Hal tersebut disamping memerlukan mekanisme manajemen Polri, juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang di lapangan.

Secara geografis daerah operasi atau wilayah penugasan, siapa tak mengenal Papua. Papua adalah salah satu propinsi eksotik di Indonesia yang memiliki wilayah luas dengan struktur geografi perbukitan dan jajaran pegunungan yang menakjubkan. Satu hal yang pasti, bahwa transportasi antar wilayah hanya bisa ditempuh melalui udara. Dengan jadwal yang berubah-ubah. Perjalanan darat tidak mudah dilakukan, karena beresiko tinggi adanya gangguan keamanan, disamping belum semua jalur darat terhubung. Hanya ada beberapa jalur darat seperti jalur trans Wamena-Lanny Jaya yang cukup rawan penghadangan dari kelompok criminal bersenjata. Bahkan di salah satu tikungan di Pirime, dikenal dengan “Tikungan Tito Karnavian”. Menurut Waka Ops, Bang Sugeng Priyanto (saat itu menjabat Kasat Brimob) pada tahun 2012 terjadi penghadangan dan penyerangan KKB kepada Kapolda Papua. Selanjutnya jalur trans Nabire-Paniai yang sering terjadi longsor dan bahkan gangguan keamanan. Dan tentu saja terbatasnya rest area disepanjang ke-2 jalan trans tersebut.

Secara khusus, terdapat beberapa hal kegiatan yang telah direncanakan di suatu daerah tidak bisa dilaksanakan tepat waktu mengingat situasi kerawanan daerah tersebut. Misalnya pelaksaaan kegiatan “Polisi Pi Ajar” di wilayah seperti Puncak Jaya, Lanny Jaya, bahkan di Tembagapura.

Secara Demografi, masyarakat tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang hanya terdiri dari 2 (dua) atau 3 (tiga) kepala keluarga dalam 1 kelompok dengan jarak antar kelompok yang cukup jauh. Hal ini selain menyulitkan untuk dijangkau, juga tidak tersedianya sarana-prasarana jalan untuk mencapai keberadaan mereka. Posisi rumah-rumah penduduk tersebut dapat dilihat dari atas dengan pesawat sejenis caravan. Luar biasa perjuangan masyarakat untuk hidup di lokasi yang jauh dari komunitas.

Pola pikir (Mindset) sebagian besar masyarakat, utamanya di Pegunungan Tengah yang terlanjur terbuai dengan program bantuan tunai pemerintah. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah diberikan, membentuk perilaku masyarakat yang tidak mandiri dan cenderung bersifat menunggu pemberian. Hal lain sebagaimana diakui pejabat Wakil Bupati Wamena adalah budaya membuat proposal untuk pencairan dana. Masyarakat menjadi malas berupaya dan bekerja.

Hal lain yang dijumpai dalam perjalanan operasi Binmas Noken Polri ini adalah kesulitan untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Pemerintah Daerah. Berbagai alasan yang dijumpai adalah kebanyakan pejabat Pemda yang tugas keluar kota dan secara umum masih belum sepenuhnya mendukung program bahkan cenderung malas tahu. Hal ini sepatutnya menjadi pekerjaan dinas, namun karena Binmas Noken sudah lakukan, maka mereka merasa selain terbantu, juga tidak perlu repot-repot.

Fenomena yang dihadapi dilapangan terhadap nilai mata uang juga berubah. Dalam penyusunan anggaran, penetapan pagu anggaran pusat dipaksakan untuk diadopsi. Sementara realita implementasi di lapangan bisa jauh berbeda, bahkan bisa berbeda lebih dari 100 (seratus) persen. Hal ini terjadi terutama di daerah pegunungan yang menjadi sangat tinggi sehingga pembiayaan terhadap satu kegiatan melebihi dari yang telah di anggarkan. Seperti harga-harga kebutuhan untuk kegiatan, baik sarana kontak maupun binaan spot. Hal ini tentu sangat mempengaruhi dan menghambat dinamika operasional.

Maju terus ka?

Pimpinan Polri melalui Kaops Nemangkawi sebagai penanggung jawab jalannya operasi khusus di Papua tetap memandang bahwa tugas ini perlu dilanjutkan. Penegasan itu mengindikasikan bahwa operasi dengan pendekatan humanis (soft approach) yang dilakukan Binmas Noken bisa diterima oleh masyarakat dan menjadi harapan. Tentu saja tugas-tugas pemberdayaan masyarakat tersebut, bukanlah ranah tugas kepolisian, namun merupakan ranah tugas instansi pemerintahan terkait.

Untuk itu kegiatan operasional Binmas Noken di masa mendatang, menjadi penting dengan mengintenfifkan kerjasama dan membuka feedback dari para Kepala Wilayah dan para Kepala Dinas di 11 (sebelas) kabupaten. Disamping itu, perlu membangun jaringan dan inovasi pemberdayaan masyarakat Papua, melibatkan generasi kritis terutama civitas akademi, Universitas Cendrawasih, Jayapura. Karena itu, implementasi Program Binmas Noken Polri harus tetap berpedoman pada mekanisme sinergitas stakes holder dan counterparts’ dengan tetap memperhatikan kearifan lokal (local wisdom).

Over all, kita wajib berterima kasih kepada Bapak Kapolri sebagai Pemimpin Tertinggi di salah satu lembaga besar di Republik ini, yaitu Polri yang begitu cinta dan peduli terhadap Papua. “Terima kasih, Bapak Kapolri. Sa Papua, Sa Indonesia”.

Salam Noken untuk kehidupan.

Share this Article