Ad imageAd image

Tuntutan Dan Tantangan POLRI Di Era Demokrati

172 Views
15 Min Read

Keberadaan Pemolisian
Kapolri Jenderal (Pol) Prof. H. M. Tito Karnavian, MA.,P.h.D bersama dengan Prof. (Ris) H. Hermawan Sulistyo, MA.,Ph.D meluncurkan buku berjudul Democratic Policing, merupakan paradigma pemolisian era demokrasi di Indonesia. Kapasitas keduanya di dunia pengetahuan dan isu-isu kepolisian tidak lagi diragukan, baik sebagai akademisi maupun praktisi dengan reputasi internasional.
Buku Demokratic Policing yang dirilis secara resmi pada Selasa, 21 November 2017 lalu, mengupas landasan filosofis, sosiologis dan yuridis berbagai dimensi pemolisian secara komprehensif. Secara filosofis, fungsi pemolisian lahir karena adanya kebutuhan akan rasa aman di dalam kehidupan masyarakat sehingga pada masyarakat pra-modern membentuk konsep kepolisian dalam bentuk kerabat (kin policing) yakni sistem kepolisian yang dibangun atas asas kekerabatan.
Perkembangan dan perubahan dinamika lingkungan strategis berdampak pada dinamika strategi dan sistem keamanan nasional suatu negara. Universalisasi demokratisasi, globalisasi, kemajuan sains dan teknologi, menjadi faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak langsung memaksa beberapa negara di dunia untuk menata ulang strategi dan sistem keamanan dalam rangka meraih kepentingan nasionalnya.
Demokratikasi pada dasarnya merupakan suatu paham yang menghargai adanya perbedaan serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis, juga dalam hal tindakan pemikiran maupun fisik. Perbedaan dan kebebasan tersebut biasanya terlihat pada saat pesta demokrasi berlangsung, seperti pemilu atau pemilukada, yang sering memuncul berbagai friksi serta kebebasan dalam hal mengeluarkan pendapat atau berbicara, melakukan unjuk rasa, menentukan pilihan, serta masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk menyesuaikan diri dengan paham demokratikasi tersebut, maka keberadaan polisi lebih tepat jika berada pada posisi sebagai pelindungi masyarakat. Polri sebagai pelindung dapat diartikan bahwa polisi senantiasa dituntut untuk selalu melayani masyarakat dalam hal menciptakan rasa aman serta menciptakan keteraturan dalam menjembatani adanya perbedaan serta kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat.
Pemolisian Demokratik            
Konsep kin policing (bentuk kekerabatan) di Anglo-Saxon Inggris pada masa Raja Alfred Yang Agung membentuk konsep pemolisian Tything, yaitu adalah komunitas penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang terdiri dari 10 (sepuluh) anggota keluarga dimana masing-masing keluarga menunjuk salah seorang dari anggota untuk menjadi pemimpin yang disebut “Tythingman”. Dari komunitas 10 tithing (100 keluarga) menjadi komunitas yang lebih besar yang disebut “Hundred” dengan pimpinan disebut “Hundredman”. Kelipatan dari jumlah komunitas Hundreddinamakan komunitas “Shire” yang dipimpin oleh “Shire Reeve” yang kemudian dikenal dengan istilah “Sheriff” yang banyak digunakan di daerah bekas jajahan Inggris, seperti Amerika, Australia, Kanada, dan India. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal polisi sipil (civilian police) di negara-negara demokrasi.
Dengan landasan filosofis ini, ditegaskan bahwa akar kelahiran konsep pemolisian tumbuh dan berkembang dari masyarakat, bukan dari kekuasaan negara. Karena itu, polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara melainkan mengabdi dan melindungi masyarakat secara umum. Masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap implementasi tugas dan fungsi pemolisian.
Titik awal sejarah demokratikasi di Indonesia dimulai sejak reformasi 1998. Reformasi 1998, berdampak adanya tuntutan terhadap institusi Polri untuk melakukan berbagai perubahan pada aspek instrumental, struktural dan kultural yang kemudian dikenal dengan reformasi Polri. Reformasi, bertujuan mengubah citra Polri yang militeristik ke arah polisi sipil, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan civil societyyang profesional dan akuntabel.
Dalam iklim demokrasi, landasan dasar konsep pemolisian tidak bisa menghindar dari prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian. Dengan demikian, penegakan hukum melalui fungsi pemolisian dalam rangka menciptakan kondisi keamanan (security) harus berjalan seimbang dengan kebebasan (freedom) HAM. Dalam iklim demokrasi landasan dasar konsep pemolisian tidak bisa menghindar dari prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian. Landasan dasar HAM ini digunakan sebagai tolok ukur akuntabilitas, baik kepada pihak eksternal maupun internal kepolisian sendiri. Dengan demikian, Polri dituntut memiliki kesesuaian antara fungsi pemolisian dengan prinsip-prinsip HAM. Sehingga paradigma Democratic Policing secara umum adalah pentingnya memerhatikan dimensi HAM, hak ekonomi sosial serta penghormatan terhadap civil society di alam demokrasi.
Gary T. Marx dalam “police and democracy”, mendefinisikan masyarakat demokratik adalah sebuah kepolisian yang; 1). Tunduk pada peraturan hukum yang mewujudkan nilai-nilai yang menghormati martabat manusia, dan bukan keinginan pemimpin atau partai yang berkuasa; 2). Dapat campur tangan dalam kehidupan warganegara hanya dalam kewenangan terbatas dan berhati-hati dalam mengendalikan situasi dan; 3). Bertanggung jawab secara terbuka.
Selanjutnya secara lebih detail, makna dan hakekat democratic policing sebagai sebuah “Ide ideal polisi yang demokratis pada umumnya didukung oleh berbagai perangkat organisasi termasuk pembagian kerja antara mereka yang menyelidiki, menangkap, mencoba dan menghukum; 1). Struktur birokrasi seperti militer yang membatasi kebijaksanaan dan mencoba membuat jalur audit; 2).  Pemisahan polisi dari militer dan penciptaan badan kepolisian yang bersaing dan bukan monolit; 3). Lembaga eksternal (atau bagian organisasi yang terkotak-kotak) yang memantau perilakunya dan itu harus memberi izin untuk tindakan-tindakan yang sangat mengganggu; 4). Polisi yang dapat dengan mudah diidentifikasi seperti itu (misalnya berseragam dengan nama atau nomor identifikasi dan mobil yang ditandai dengan jelas) atau dalam kasus polisi yang menyamar yang identitasnya disembunyikan, sidang di ruang sidang di mana tindakan polisi adalah penipuan dinyatakan secara terbuka dan dinilai; 5). Dan rotasi tugas; 6). Kompensasi dan kondisi kerja yang memadai setidaknya pada tingkat rata-rata masyarakat”.
  Konsepsi Travis (1998) mengenai Prinsip-Prinsip Pemolisian Democratic; 1).  Polisi harus harus bekerja sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu profesional, memahami standar Hak Asasi Manusia, dan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; 2). Polisi selaku pemegang amanat masyarakat, hendaknya segala perbuatannya harus profesional, mengacu pada hukum, dan menjunjung nilai-nilai etika dan norma yang berlaku di masyarakat maupun kelembagaan; 3).  Polisi harus mempunyai prioritas utama dalam mengamankan dan melindungi kehidupan masyarakat; 4).  Polisi senantiasa melayani masyarakat tanpa pamrih dan bertanggung jawab pada masyarakat; 5). Bahwa perlindungan yang diberikan polisi terhadap nyawa dan harta benda adalah fungsi primer dari operasi polisi yang lain; 6). Tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat manusia serta Hak Asasi Manusia; 7). Dalam pelaksanaan tugasnya polisi hendaknya bersikap netral dan tidak ada sikap diskriminatif.
Pandangan umum masyarakat dewasa ini terhadap pemolisian adalah; 1). Setiap jasa yang diberikan oleh polisi tidak semuanya dapat diterima, adakalanya ditolak oleh publik. Oleh karena itu polisi dituntut untuk peka terhadap segala situasi yang berkaitan dengan pelayanannya kepada masyarakat; 2). Kegiatan kepolisian termasuk salah satu bagian dari isu demokrasi yang ada saat ini; 3). Dalam tatanan masyarakat modern, kedudukan antara masyarakat dengan aparat negara/aparat pemerintahan adalah sama (equal).
Implementasi Pemolisian Democratik
Dalam konteks negara demokrasi, polisi sebagai alat negara di bidang penengakan hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat memerlukan keselarasan dengan struktur sosial sehingga peran Polri sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Reformasi Polri harus mengacu pada orientasi utama penegakan hukum (rule of law) dan hak asasi manusia sebagai instrumen utama negara demokrasi. Status Polri sebagai institusi sipil sejalan dengan norma universal yang tertuang dalam Resolusi PBB Nomor 143 tanggal 14 Juli Tahun 1960 tentang Polisi Non-Combatant. Dengan status ini, semua norma atau kaidah dalam masyaraat sipil berlaku bagi semua anggota Polri.
Bila dikaitkan dengan kondisi negara kita saat ini (ideologi, budaya, sosial, politik, ekonomi, keamanan, pertahanan), maka pemolisian democratic harus segera dilaksanakan di Indonesia walaupun mengandung berbagai kontradiksi, resiko, serta tantangan yang harus diperhitungkan secara matang. Disamping itu, dengan adanya pemolisian democratic akan memunculkan masalah baru berkaitan penggunaan diskresi kepolisian dalam menangani berbagai masalah yang timbul di masyarakat.
Meskipun Pemolisian democratic belum bisa dikatakan mampu menghasilkan solusi bila dilakukan dalam negara ini, dikarenakan struktur dari masyarakat saat ini masih belum bisa memahami apa arti dasar dari demokrasi itu sendiri. Masyarakat dan aparat pemerintahan kita saat ini masih terbuai oleh “euforia“ reformasi yang telah mereka gulirkan tanpa mereka mengetahui kejelasan ujung pangkalnya.
Modernisasi Polri sebagai prasyarat democratic policing
Modernisasi Kepolisian harus dipahami sebagai suatu upaya Polri secara terus menerus dan berkesinambungan untuk selalu meningkatkan kemampuan pada berbagai aspek manajemen operasional dan manajemen pembinaan kepolisian.
Profesionalisme Polri dalam mewujudkan pemolisian demokratik hendaknya juga wajib ditunjang oleh modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi, sehingga layanan Polri semakin mudah dan cepat diakses masyarakat. Modernisasi juga meliputi pemenuhan kebutuhan alat material khusus dan alat peralatan keamanan. Polri yang terpercaya hendak diwujudkan melalui reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Sementara itu, diakui bahwa tantangan yang dihadapi Polri dalam penanganan gangguan kamtibmas akan semakin berat.
Polri diharapkan makin cerdas dalam memberantas berbagai modus kejahatan baru yang makin canggih. Misalnya, kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang korbannya bukan hanya individu, melainkan juga korporasi dan institusi negara. Ini meliputi pembajakan melalui internet, pencurian data komputer, bisnis bodong (palsu), pembobolan kartu kredit, pornografi anak, hingga prostitusi. Selain itu, ancaman gangguan keamanan lintas negara (transnational crime) dalam bentuk perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, maupun aksi terorisme juga kian meningkat.
Di sisi lain, Polri memiliki keterbatasan sumber daya internal. Di luar persoalan dukungan anggaran dan sarana prasarana, ketersediaan jumlah personil Polri secara keseluruhan belumlah optimal. Rasio polisi dan masyarakat berdasarkan data 2014 ialah 1:575, padahal rasio ideal menurut PBB ialah 1:300. Karena itu, partisipasi masyarakat melalui sistem atau jaringan kemitraan antara polisi dan masyarakat merupakan strategi utama dalam menjaga kamtibmas. Upaya membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap kamtibmas memang merupakan salah satu program prioritas.
Inisiatif ini telah lama dirintis melalui Surat Keputusan Kapolri No 737/2005 tentang penerapan perpolisian modern yang dikenal dengan community policing atau Pemolisian Masyarakat (Polmas). Polmas mewadahi pranata sosial yang berkembang di masyarakat seperti siskamling maupun pecalang. Dalam bentuknya yang lebih modern, Polmas mengadopsi model neighborhood watch yang diterapkan di banyak negara maju. Model ini dikenal sebagai Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM).
Penelitian lapangan yang dilakukan penulis terhadap FKPM-FKPM di Jawa Timur menunjukkan beberapa fakta menarik. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, Polmas ternyata berfungsi efektif dalam membantu penyelesaian perkara tindak pidana ringan di masyarakat. Selain itu, temuan di lapangan menunjukkan bahwa Polmas menjadi media efektif untuk memperoleh masukan masyarakat tentang potensi gangguan kamtibmas di wilayahnya. Di sisi lain, Polmas juga menjadi sarana pemberdayaan masyarakat terkait dengan kesadaran hukum maupun hak dan kewajiban warga negara. Karena itu, penulis menyambut baik dikeluarkannya Peraturan Kapolri No 3/2015 yang menjadi panduan terbaru penerapan Polmas.
Melalui ketentuan ini, infrastruktur Polmas diperluas melalui pilar kemitraan di tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, hingga provinsi. Bahkan, Polri dalam Rencana Strategis 2015 – 2019 berkomitmen menggelar Bhabinkamtibmas, yaitu aparat pengemban Polmas di 81.711 desa dan kelurahan se-Indonesia, guna meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap gangguan kamtibmas.
Penutup
Democratic policing sebagai paradigma pemolisian pada era demokrasi membangun landasan filosofis mengenai pemolisian yang memberikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Ecosoc sebagai salah satu kovenan HAM yang memuat penegasan hak-hak dasar ekonomi, sosial dan budaya setiap manusia.
Democratic policing tidak lain merupakan demokrasi musyawarah yang mengedepankan proses diskursus yang dialogis emansipatoris dalam upaya mencapai mufakat. Untuk itu, Polmas perlu ditempatkan sebagai ruang publik, yakni idealnya masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengonstruksi setiap kebijakan yang akan diambil terkait dengan pemeliharaan kamtibmas di lingkungannya. Sebaliknya, Polri perlu membangun kapasitas diri untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat tersebut. Melalui penerapan Polmas yang demikian, kita berharap Polri makin memperoleh dukungan masyarakat dalam mewujudkan visi Kapolri terpilih menuju watak perpolisian yang makin profesional, modern, dan tepercaya.
Saat ini Polri masih belum sepenuhnya melaksanakan pemolisian secara democratic. Hal ini dikarenakan masih banyaknya indikator-indikator pemolisian democratic yang belum digali dan diterapkan di negara kita sesuai dengan sejarah dan budaya yang ada. Apapun bentuk kegiatan yang telah dilakukan kepolisian, tidak semuanya dapat memuaskan dan memenuhi selera masyarakat. Oleh karena itu dengan pemahaman pemolisian democratic diharapkan Polri semakin sadar untuk berbenah diri sekaligus terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran dari masyarakat demi kemajuan polisi sesuai harapan dari masyarakat.
Polri dituntut memberdayakan peran serta masyarakat dalam bentuk upaya-upaya pemolisian dan menjalankan pemolisian democratic. Berbagai indikator pemolisian democratic harus digali secara cermat dan disesuaikan dengan sejarah dan kebudayaan bangsa, karena tidak mungkin ada indikator pemolisian democratic yang sama dan cocok dilaksanakan di berbagai negara yang secara jelas berbeda dari sisi sejarah, ideologi, maupun kebudayaannya.
Referensi
Bunga Rampai. 2004. Pemikiran Tentang Alternatif Kegiatan Pemolisian. Jakarta : KIK-UI.
Gazarin, Gardi. 2001. Bunga Rampai Polri Polri Mandiri Menengok Kebelakang Menatap Masa Depan. Jakarta: Panitia Workshop Wartawan Polri.
Guidebook on Democratic Policing by the Senior Police Advisor to the OSCE Secretary General.
Karnavian, Tito dan Sulistyo, Hermawan, 2017, Democratic Policing, Pensil 324, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press.
Share this Article