THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN:
KEMENANGAN KAPITALISME DAN DEMOKRASI LIBERAL
Penulis: Francis Fukuyama
(Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Qalam, 2003)
The End of History and the Last Manadalah sebuah buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama (1992). Buku ini merupakan perluasan esai yang ditulisnya pada tahun 1989. “The End of History”, diterbitkan oleh The National Interest. Francis Fukuyama ini, seorang warga Negara Amerika keturunan Jepang yang berprofesi akademisi, komentator politik, dan penasihat pemerintah Amerika Serikat, benar-benar telah menggemparkan dunia politik internasional ketika awal tahun 1990-an mendeklarasikan telah berakhirnya sejarah ideology bangsa-bangsa, dan dia menegaskan secara optimistik bahwa saat ini dunia dalam era penghujung sejarah dan masa depan tidak akan pernah lagi tersedia ruang bagi pertarungan antar ideology besar. Pemenang pertarungan antar ideology ini dari masa ke masa adalah ideology demokrasi liberal barat yang didukung oleh system ekonomi kapitalis. Fukuyama berpendapat bahwa demokrasi liberal mungkin merupakan ‘ titik balik” dari evolusi ideologis umat manusia dan “bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga ia bisa disebut sebagai “akhir sejarah” (The End of History).
Tesis Fukuyama berisi beberapa elemen: Pertama, Argumen politik: yakni bahwa semua perang melalui sejarah adalah bentrokan antara dua sistem politik yang bersaing. Maka sebagai bangsa yang lebih mengadopsi bentuk pemerintahan demokrasi liberal, perang antara mereka seharusnya tidak akan terjadi lagi. Kedua, Argumen empiris: Sejak awal abad 19, telah ada langkah dari Amerika untuk mengadopsi beberapa bentuk demokrasi liberal sebagai pemerintahannya, yang didefinisikan sebagai sebuah pemerintahan di mana hak-hak individu, seperti hak untuk kebebasan berbicara, lebih unggul daripada hak-hak negara. Ketiga, Argumen filosofis: Fukuyama meneliti pengaruh thymos (atau semangat manusia). Argumennya adalah: Bahwa demokrasi menghalangi perilaku berisiko. Pencerahan berpikir rasional menunjukkan bahwa peran tuan dan budak ternyata tidak memuaskan dan merusak diri. Oleh karenanya karenanya tidak diadopsi oleh roh-roh leluhur. Jenis argumen yang terakhir ini awalnya diambil oleh Hegel dan John Locke.
Dengan tegas dia menyatakan bahwa runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 dan ambruknya tembok Berlin adalah dua diantara sekian banyak pertanda signifikan telah terjadinya perubahan dramatis pasca Perang Dingin yang mempresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia. Runtuhnya Uni Soviet menimbulkan beberapa akibat terhadap situasi dunia, yaitu: (1) Berakhirnya perang Dingin antara Blok Barat (Amerika Serikat) dengan Blok Timur(Uni Soviet), (2) Berkurangnya kecemasan dunia terhadap terjadinya Perang Dunia III,(3) Banyak negara komunis yang berubah menjadi negara demokrasi, (4) Amerika Serikat tampil sebagai negara Adi Daya, (5) Tumbangnya komunisme di beberapa negara Eropa Timur.
Metodologi yang dipakai oleh Fukuyama dalam analisanya adalah berlandaskan teori filsafat sejarah G.W,F. Hegel dan analisa kritis terhadap pemikiran karl Marx dalam teori sosialisme. Sejak publikasi pertamanya, The End Of History And The Last Man, telah mengundang begitu banyak perdebatan pro-kontra. Faktanya lebih banyak lontaran gugatan dan kritikan dari hampir setiap sudut pandang. Buku ini disebut-sebut sebagai sebuah karya yang sangat optimistik sekaligus deterministik; fenomenal sekaligus kontroversial,; ilmiah sekaligus profokatif. Walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit, telah muncul sikap simpatik yang berusaha memahami sisi positif dari tesisnya ini. Lebih jauh, muncul pelbagai upaya untuk mengevaluasinya sebagai sebuah instrumen analisis dan perangkat resolusi untuk mengatasi beragam problem kontemporer di dalam dunia politik dan teori ideology-politik.
Buku ini secara referensi sangat bagus terutama bagi para intelektual dan mahasiswa serta pelaku perpolitikan karena merupakan hasil telaah atas perjalanan sejarah bangsa-bangsa yang dimulai sejak awal abad 20, yang periode sebelumnya telah ditulis dengan baik oleh Hegel. Telaah Fukuyama tersebut adalah peristiwa-peristiwa ideologis dan implikasinya terhadap berbagai Negara seperti misalnya perang dunia I, perang dunia II, Perang dingin, runtuhnya Uni Sovyet, kudeta, dan perubahan system pemerintahan beberapa Negara menjadi Negara demokrasi berdasarkan fakta dan teori-teori yang berbeda menjadi satu kesatuan yang koheren
Namun, apa yang disimpulkan oleh Fukuyama dengan yang disebut bentuk “final pemerintahan manusia“ tentu masih diperdebatkan karena sangat ironis dengan Keberadaan China, Vietnam, Kuba, Venezuela dan beberapa Negara di Timur tengah yang format pemerintahannya masih belum dapat menerima ideogi liberal dan demokratis. karena tentu saja kebenaran mutlak masih terus dicari umat manusia.
Kritikan atas pemikiran ini tentu saja banyak bergulir dan terkadang bentrok dengan pendapat para ahli lainnya, sebut saja Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization menyebutkan adanya kecenderungan kebangkitan Islam menentang nilai-nilai dan peradaban barat. Sedangkan Jacques Derrida dalam bukunya Specter Of Marxmeyebutkan bahwa ideology-ideologi lain tidak pernah benar-benar mati melainkan hanya bersembunyi dan melatenkan diri.
Pemikiran ini tentu saja dapat disebut sebagai sebuah sintesis pemikiran sebagaimana ketika Karl Mark membuat suatu sintesis ideology ekonomi dalam bukunya Das Kapital sebagai antithesis dari ideologi kapitalisme. Suatu hari mungkin terjadi perubahan yang signifikan diberbagai Negara dan tentu saja pemikiran Fukuyama ini menjadi antithesis.
THE END OF HISTORY
Setelah menang melawan Komunisme pada abad ke-20, Barat menjadi penguasa tunggal. Di puncak piramida kekuasaan, Amerika Serikat sebagai negara super power memegang kunci-kunci kekuasaan dunia. Dengan segala kehebatannya itu, ada yang kemudian berpikir bahwa setelah era dominasi peradaban Barat, maka tidak ada lagi peradaban lain, dengan sistem pemikiran dan kehidupan yang berbeda dengan peradaban Barat. Ketika itulah manusia sudah bersepakat untuk menerapkan Demokrasi Liberal. Era ini merupakan akhir sejarah (the end of history). Ungkapan the end of history itulah yang sangat populer di pengujung abad ke-20, yang menempatkan Francis Fukuyama sebagai ilmuwan terpopuler bersama Samuel P. Huntington, selama dekade 1990. Menurut Fukuyama, setelah Barat menaklukkan rival idiologisnya: monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme, maka dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi idiologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan. Dan, ini sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (the end of history).
Disadari atau tidak, berbicara mengenai akhir dari sejarah merupakan perihal yang begitu sensitif, hal ini mengingat cukup banyaknya entitas masyarakat dunia yang memiliki pola pikir, norma dan terutama “nilai” yang berbeda-beda. Apabila Hegel memahami akhir sejarah melalui alur dialektia ide (ruh transendensi) sebagai penggeraknya, sedangkan Marx lebih pada ekonomi deterministik, maka Fukuyama meyakini logika sains alam modern sebagai roda penggerak menuju akhir sejarah. Di satu sisi, dalam (EH) Fukuyama menempatkan Injil sebagai pelopor penulisan sejarah universal, dalam pengkajian kita akan hal ini tidaklah bijak memfokuskan pembicaraan pada urutan terlebih dahulu, tidaknya pewahyuan suatu kitab suci dibanding kitab suci lainnya, apa yang semestinya kita lakukan adalah menempatkan keseluruhan kitab suci yang ada sebagai penegas antara yang sakral dan profan. Hal tersebut bukannya tanpa alasan sama sekali, tetapi lebih pada realitas eksisnya berbagai bentuk dan versi sejarah universal maupun akhir sejarah yang tertuang dalam berbagai kitab suci agama dunia.
Pada tataran nontransendensi, bagaimanapun juga kita menemui berbagai bentuk kelemahan pada konsepsi akhir sejarah konstruksi manusia. Hal ini selain sesuai dengan apa yang dikatakan Humedan Kierkegaard juga dikarenakan tidak adanya “aksioma” dalam perspektif ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini, suatu ilmu yang tak memiliki aksioma tidaklah memiliki legitimasi yang kuat disebabkan oleh samarnya pandangan mengenai yang baik ataupun yang buruk, itulah mengapa Giddens mengkritik ilmu-ilmu sosial sebagai sarana keserakahan manusia. Secara konkret hal ini dimisalkan dengan perbedaan pandangan antara Marx dan Weber dalam melihat fenomena kapitalisme. Bagi Marx, kapitalisme begitu irasional karena melakukan ekploitasi sewenang-wenang pada buruh-buruh pabrik, sebaliknya dengan Marx, Weber menganggap kapitalisme begitu rasional karena melakukan akumulasi modal secara sistematis. Dalam tataran dunia akademis, kita kerap melihat bagaimana perdebatan antar-Ideologi tak kunjung menemui titik temu. Seorang mahasiswa yang dengan tekun mempelajari Manifesto Komunis berikut Das Kapitalmenghadapi kesia-siaan setelah menemui Manifesto Kapitalis dan End of History Fukuyama, begitu pula dengan seorang mahasiswa yang dengan hebatnya mendalami kapitalisme dan neoliberalisme mengalami kehancuran harapan setelah menemui Manifesto Komunis dan Specter of Marx Derrida. Ilustrasi tersebut menunjukkan pada kita pragmatisme yang berpotensi besar menghantarkan pada relativisme dan skeptisisme radikal sehingga pada akhirnya sekedar memunculkan nihilisme layaknya usungan Nietzsche, Dostovesky, Camus atau Sartre.
Dengan demikian, seperti apa yang telah diuraikan di atas, satu pelajaran penting yang dapat kita petik dalam (EH) adalah lemahnya argumen Fukuyama terkait fenomena sebagian besar negara dunia yang menganut demokrasi liberal sebagai indikasi akhir dar sejarah umat manusia dengan orientasi puncak demokrasi liberal itu sendiri. Faktual, kita menemui di era 1950-an hingga 1960-an sebagian besar negara dunia mengklaim berdiri di atas nilai-nilai marxisme dan mengalami kehancuran mengenaskan kurang-lebih dua atau tiga dekade kemudian (akhir 1980-an), dan fenomena yang sama kiranya tetap tak tertutup kemungkinan terjadi pula pada konsepsi demokrasi liberal yang saat ini diamini sebagian besar negara-negara dunia.
Lemahnya argumen yang dilontarkan Fukuyama di atas terlebih terbukti melalui tanda-tanda bangkitnya kembali peradaban lama yang mengancam kedudukan Barat yakni confusiunisme dan Islamseperti apa yang diungkapkan Samuel P. Huntington dalam majalah Foreign Affairs, “Suatu hubungan Islam-Konfusianisme telah bangkit menentang kekuatan, nilai-nilai dan kepentingan Barat”, begitu pula dalam The Clash of Civilizations sebagai penjelas dan penegas sekaligus kelanjutan majalah tersebut Huntington menegaskan, “Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya, dua kali”. Di satu sisi, kajian kita mengenai bentuk-bentuk kebangkitan kembali suatu peradaban faktual memperoleh dukungannya melalui pernyataan Derrida dalam Specter of Marx bahwa baginya ideologi-ideologi lain tak pernah benar-benar mati melainkan hanya bersembunyi dan melatenkan diri. Kiranya satu hal penting yang patut kita insyafi dan menjadi catatan tersendiri sekaligus penulis tempatkan sebagai penutup pembahasan kita mengenai konsepsi “akhir sejarah” Fukuyama yakni mengarahkan kembali perhatian pada pernyataan Huntington dalam bab akhir The Clash of Civilizations, “Masyarakat-masyarakat yang menganggap bahwa sejarah mereka telah berakhir biasanya adalah masyarakat yang sedang berada di ambang keruntuhan.”
Pada akhir sejarah, kata Fukuyama, tak ada lagi tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal. Pada masa lalu manusia menolak demokrasi liberal sebab mereka percaya bahwa demokrasi liberal adalah inferior terhadap berbagai idiologi dan sistem lainnya, seperti monarki, teokrasi, fasisme, komunisme, totalitarianisme, atau apa pun. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan demokrasi liberal sebagai bentuk pemerintahan yang paling rasional.
Tentang hubungan agama dengan sekularisasi, Fukuyama mencatat bahwa liberalisme tidak akan muncul jika Kristen tidak melakukan sekularisasi. Dan itu sudah dilakukan oleh Protestanisme Bart, yang telah membuat adanya kelas khusus pemuka agama dan menjauhkan diri dari intervensi terhadap politik. Tulis Fukuyama, “Kristen dalam arti tertentu harus membentuk dirinya melalui sekularisasi tujuan-tujuannya sebelum liberalisme bisa lahir. Agen sekularisasi yang umumnya segera bisa diterima di Barat adalah Protestanisme. Dengan menempatkan agama sebagai masalah pribadi antara Kristen dan Tuhan, Protestanisme telah menghilangkan kebutuhan akan kelas pendeta yang terpisah, lebih luas lagi tidak ada juga kebutuhan akan intervensi agama ke dalam politik.”
Fukuyama menyorot dua kelompok agama yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi ortodoks dan Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai “totalistic religion”, yang ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun pribadi, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan jika satu-satunya negara demokrasi liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal abad ke-20.
Klaim-klaim Fukuyama sebenarnya sangatlah lemah. Tidaklah benar saat ini tidak ada tantangan serius secara idiologis terhadap demokrasi liberal. Faktanya, pasca-Perang Dingin, Islam masih dianggap sebagai tantangan idiologis yang serius. Sehingga, negara-negara Barat sangat khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan idiologi Islam. Sebab, menurut Huntington, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah membuat Barat tidak merasa aman. Kasus dukungan Barat terhadap pembatalan pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS menunjukkan bahwa Barat menganggap ada tantangan serius terhadap idiologi FIS. Menurut Christoper Ogden, dalam artikel View from Washington,Times, 3 Februari 1992, tindakan AS yang mendukung permainan kekuasaan anti-demokrasi merupakan suatu tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan Prancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair “konstitusional” tidak lain merupakan gejala penyakit gila paranoid (ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim fundamentalis.
Sesudah peristiwa serangan terhadap menara kembar World Trade Centre di New York dan gedung departemen pertahanan AS Pentagon di Virginia, jenis paranoid Barat khususnya AS–terhadap Islam semakin beragam. Dari yang bentuknya paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari sampai di tingkat legalisasi pemerintahan. Hanya karena namanya berbau Islam, atau wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat diperlakukan tidak manusiawi.
Ketika pada 2004 Turki menggagas RUU yang menetapkan perzinaan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal, di samping kemudian menimbulkan kontroversi, yang menarik adalah bukan kalangan dalam Turki saja yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, menyatakan bahwa sikap anti perzinaan dapat menciptakan citra bahwa undang-undang di Turki mulai mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan bahwa jika proposal itu disahkan sebagai undang-undang, maka akan menciptakan kesulitan bagi Turki.
Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan internal dalam negeri satu negeri Muslim ternyata mendapat perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada masalah politik yang serius. Mengapa orang-orang Barat itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemennya, memutuskan bahwa perzinaan adalah satu bentuk kejahatan? Ada apa di balik semua ini? Mengapa mereka tidak membiarkan saja, sesuai dengan jargon demokrasi liberal mereka, rakyat Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa langsung saja mereka mengingatkan bahwa undang-undang itu akan mendekatkan Turki kepada Islam?
Kasus Turki ini sekaligus menjadi bukti bahwa Barat bersikap begitu paranoid terhadap penerapan “hukum Islam”, dan sekaligus mematahkan tesis Fukuyama tentang tidak adanya tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal pasca Perang Dingin. Karena itu, klaim Fukuyama bahwa telah terjadi konsensus umat manusia untuk memeluk “demokrasi liberal” juga bisa dianggap berlebihan. Klaim ini terlalu dini dan mendapatkan banyak kritik. Pada saat ini sikap Barat juga paradoks. Di satu sisi mengkampanyekan ‘pluralisme‘ sebagai salah satu elemen dasar demokrasi liberal, tetapi pada sisi lain juga memaksakan ‘uniformitas‘ tentang keharusan menerapkan standar Barat dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti yang terjadi di Turki. Dukungan Barat terhadap rezim otoriter yang anti-demokrasi di dunia Islam hanya karena rezim-rezim menjamin kepentingan bisnis dan ekonomi Barat–menambah pekatnya kadar paradoksi Barat.
Demokrasi liberal disamping menawarkan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif, tetapi juga menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan seorang pemabuk dan pezina. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang preman.
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 SM) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor nonesensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya “orang-orang paling bijak” sebagai pemimpin ideal di suatu negara, “Orang-orang paling bijak dalam negara akan menangani persoalan-persoalan manusia dengan akal dan kearifan yang dihasilkan dari dunia gagasan yang kekal dan sempurna.” Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Menurut Iqbal, bagaimanpun, para semut tidak akan mampu melampaui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 ‘keledai’.
Sebenarnya, Barat pun sadar, demokrasi liberal tidak dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan umat manusia, khsusnya di duina internasional. Mereka tidak percaya bahwa umat manusia yang mayoritas dapat menghasilkan keputusan yang baik untuk dunia internasional jika bertentangan dengan kemauan mereka. Karena itu, sejak awal berdirinya PBB, 24 Oktober 1945, Barat memaksakan sistem “aristokratik”, yaitu kekuasaan PBB diberikan kepada beberapa buah negara yang dikenal sebagai “The Big Five” (AS, Rusia, Prancis, Inggris, Cina). Kelima negara inilah yang mendapatkan hak istimewa berupa hak ‘Veto’ (dari bahasa lati, ‘veto’ artinya: saya melarang). Lima negara ini merupakan anggota tetap dari 15 anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. Sisanya 10 negara, dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Pasal 24 Piagam PBB menyebutkan bahwa dewan ini mempunyai tugas yang sangat vital, yaitu “bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”. Jika satu resolusi diveto oleh salah satu anggota tetap DK PBB, maka resolusi itu tidak dapat diterapkan.
Falsafah PBB yang meletakkan sistem aristokratis ini menunjukkan bahwa demokrasi liberal adalah sebuah pilihan yang tidak selalu didukung oleh Barat. Jika percaya pada falsafah demokrasi, bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”, mengapa Barat selalu menolak melakukan restrukturisasi PBB, yang sudah puluhan tahun dituntut oleh mayoritas negara di dunia? Dunia sering disuguhi tontonan ironis di PBB, ketika mayoritas anggota PBB di Majelis Umum menyetujui satu resolosi, tetapi hanya karena satu negara anggota tetap DK tidak setuju, maka keputusa PBB itu menjadi tidak bergigi. DK PBB juga tidak pernah berhasil mengeluarkan resolusi yang mengecam berbagai tindakan AS. Dalam kasus penyerbuan AS ke Panama, misalnya, ada dua draft resolusi yang diveto oleh AS.
Pada satu sisi, Barat sendiri terbukti tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, yang konon memberikan ruang dan hak yang sama kepada setiap manusia, sesuai prinsip “equality”. Namun, pada sisi yang lain, apa yang dilakukan Barat, juga merupakan realita demokrasi liberal itu sendiri, yang pada praktiknya memiliki asumsi-asumsi ideologis mirip dengan Marxisme-Leninisme, yang mengenal diskriminasi kelas sosial. Adalah pakar komunikasi Walter Lipmann yang mengajukan teori A Progressive Theory of Liberal Democratic Thought. Dalam teori ‘demokrasi progresif’, disebutkan bahwa untuk menjalankan demokrasi secara lebih baik, maka masyarakat dibagi dalam kelas-kelas.
Paradoks Demokrasi di Barat
Fenomena teori demokrasi liberal progresif versi Lipmann itu tampak mencolok dalam pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000 Mahkamah Agung AS memenangkan George W. Bush atas calon Demokrat, Al-Gore. Kasus ini telah memunculkan berdebatan yang sengit di AS. Bugliosi mengungkap sebuah realitas ironis tentang demokrasi: ‘pengkhianatan Amerika’. Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim di sebuah lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara rakyat, lebih banya berpihak kepada Al-Gore. Dengan fakta ini, presiden AS George W. Bush didukung oleh minoritas. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan Bugliosi sebagai “like the day of Kennedy assassination”. (Vincent Bugliosi, The Betrayal of America: How the Supreme Court Undermined the Constitution and Chose Our President [New York: Nation Books, 2001]).
Setelah Bush memangku jabatan Presiden AS, kontroversi demi kontroversi terus merebak ke seluruh penjuru dunia. Apalagi, setelah Bush memerintahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Belum pernah dalam sejarah dunia menyaksikan gelombang aksi unjuk rasa anti-AS yang begitu ramai di berbagai penjuru dunia seperti pada tahun 2003. Sampai-sampai ribuan orang warga AS sendiri harus ditahan, menyusul aksi mereka menentang serangan ke Irak, di berbagai kota di AS. Amerika menyerang Irak tanpa persetujuan dan mandat DK PBB–satu tata aturan yang telah ditetapkan sendiri oleh AS dan sekutu-sekutu Perang Dunia II.
Maka, serangan AS terhadap Irak, tanpa mandat PBB, secara jelas menunjukan akhir dari tata dunia yang diatur oleh AS. Hukum internasional telah diabaikan. Kekuatan adalah kebenaran. Might is right. Kontroversi merebak di seluruh dunia.
Dunia internasional sebenarnya secara mayoritas sering berseberangan denan AS dan tata dunia yang dipimpinnya. Hanya karena faktor kekuatan dan pengaruh AS yang masih begitu kuat, maka muncul pikiran pragmatis untuk mengikuti saja apa kehendak dan perintah AS. Di dunia Islam, berbagai kasus semacam ini terlihat begitu mencolok, seperti dalam kasus Pakistan dan Taliban. Jika pada masa Perang Dingin sampai tahun 1996 Pakistan adalah pendukung kuat Taliban, maka situasi itu berubah total setelah AS menetapkan Taliban sebagai musuhnya. Prof. Robert Hunter Wade, Guru Besar ekonomi politik di London School of Economisc menyamakan posisi AS di dunia saat ini seperti posisi Kekaisaran Romawi yang berlaku sewenang-wenang terhadap dunia.
THE LAST MAN
Setelah “puas” berbicara panjang lebar mengenai dialektika Hegel dan demokrasi liberal sebagai bentuk akhir sejarah, sampailah Fukuyama pada bab akhir analisisnya mengenai the last man ‘manusia akhir’. Dalam hal ini Fukuyama mengadopsi konsep “manusia akhir” Nietzsche yang syarat dengan kenyamanan pribadi, kesenangan material, secara membabi-buta menerima “moralitas gerombolan” serta dogma-dogma politik dan eksis sebelum ubermensch‘manusia unggul’ hadir. Menurut Fukuyama kondisi kehidupan manusia yang demikian merupakan konsekuensi diterapkannya demokrasi liberal, di mana setiap orang pada akhirnya menjadi borjuis atau kelas menengah karena sokongan pemerintah pada berbagai bentuk pertanggungjawaban sosial seperti Social Security and Medical di Amerika Serikat hingga berbagai sistem kesejahteraan yang lebih komprehensif di Jerman atau Swedia. Singkatnya-dengan kata lain-manusia modern adalah manusia terakhir dengan kehidupan penuh keamanan fisik serta kelimpahan material.
Namun demikian, kesalutan kita atas Fukuyama adalah pengakuannya bahwa “manusia terakhir” yang demikian justru menemui kebosanan dan kejenuhan hebat dalam diri dan hidupnya serta berpotensi mengulang kembali jalannya sejarah sehingga sejarah tak lagi menjadi sebuah pertumbuhan liniear melainkan siklus. Terkait hal tersebut Fukuyama mencontohkan dengan apa yang terjadi pada munculnya pemerintahan Shogun Hideyoshi pada abad ke-15 di mana kala itu Jepang memasuki era penuh kedamaian selama beberatus tahun lamanya yang begitu mirip dengan postulat akhir sejarah Hegel, namun faktual “perang besar” terjadi lagi kemudian. Peristiwa kontemporer yang terjadi di Prancis tak luput pula dalam sorotan Fukuyama di mana kala itu Prancis di bawah pimpinan Jendral De Gaulle menjadi negara paling bebas dan paling makmur di muka bumi faktual mengalami pemberontakan hebat mahasiswa yang berupaya melengserkannya. Begitu juga dengan peristiwa 1914 setelah seratus tahun perdamaian sejak konflik terbesar di saentaro benua Eropa telah dihentikan oleh Konferensi Wina faktual petaka kembali terulang melalui Perang Dunia I (1914-1918). Kesemuanya diakui Fukuyama sebagai dampak dari isothymiayang tak lagi mencukupi dan berubah menjadi megalothmia, dan bila kita menilik kembali pemikiran Fukuyama sebelumya, hal tersebut disebabkan oleh thymosyang menjadi penekanannya sejak awal (hasrat akan pengakuan). Namun demikian, pemikiran Fukuyama mengenai “manusia akhir” tidaklah ujug-ujugmemunculkan ubermensch ‘manusia unggul’ layaknya Nietzsche kemudian, atau seperti Sartre dengan etre-en-soi-etre-pour-soi yang pada akhirnya menyimpulkan manusia sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’ sehingga berakhir pada absurditas dan nihilisme semata. Fukuyama tampaknya melihat secercah harapan dalam konsepsi “manusia akhir”-nya sendiri, yakni dengan lebih melatih dan menyempurnakan thymos sehingga mampu melayani kebaikan bersama karena seperti halnya Plato, ia menganggap bahwa thymostidaklah baik atau buruk (netral) namun lebih bagaimana cara kita melatihnya. “Thymosharus dikendalikan oleh akal dan dijadikan sekutu hasrat, dengan keadaan demikianlah jiwa memperoleh kepuasan dan dan dibawa menuju keseimbangan di bawah bimbingan akal,” ungkapnya.
Melalui berbagai penjabaran “manusia akhir” Fukuyama di atas setidaknya terdapat beberapa hal yang patut kita kritisi atau jadikan peninjauan kembali lebih lanjut. Pertama, mekanisme wellfare-stateseperti apa yang dikemukakan Fukuyama sebelumnya apakah benar “semanis” dalam realitas, dalam hal ini kita menemui analisis Giddens terkait moral hazard yang muncul melalui mekanisme tersebut, dan memang, hal yang sama telah menjadi petaka ekonomi di era 1950-an dan 1970-an yang kemudian menghantarkan konsepsi ekonomi Keynesian berikut neo-Keynesian ke “liang kubur” sebagai konsekuensi atas pembengkakan belanja publik yang kembali melahirkan depresi ekonomi. Di satu sisi, neoliberalisme yang diusung Reagan dan Thatcer, terlebih peletak dasar pondasinya, Frederick Von Hayek mengenai keyakinan kehidupan ekonomi yang baik harus dimulai dengan ketimpangan-ketimpangan ekonomi menuai kejemuan masyarakat terkait hingga kapan ketimpangan tersebut harus terus berlangsung, hal tersebut diperparah dengan munculnya fenomena buble economic[1]‘gelembung ekonomi’ yang beberapa waktu lalu sempat menjadi sebab-musabab petaka krisis ekonomi pada penghujung tahun 1990-an.
Di sisi lain, solusi dan optimisme yang ditawarkan Fukuyama berupa “manajemen” tiga elemen dalam manusia dan masyarakat berupa akal, hasrat dan terutama thymoslebih tampak pada tatanan masyarakat utopia Thomas More. Faktual, tak pernah sebelumnya umat manusia melihat tatanan kehidupan yang sedemikian apik dalam perjalanan sosio-historisnya sehingga tak berlebihan kiranya bila pemikiran Fukuyama terkait hal tersebut kita tempatkan sebagai utopis[2]sebelum hal tersebut benar-benar pernah terwujud.
[1] Gelembung ekonomi (economic bubble), gelembung spekulatif, atau gelembung keuangan adalah“perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya”. (Dalam kata lain: memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.)
[2]Orang yang memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang hanya bagus dalam gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan. atau biar lebih mudah. Utopis itu berasal dari kata utopia. Utopia itu sesuatu yang di mimpikan, di kehendaki tetapi tidak mungkin jadi kenyataan.