Kerinduan akan ramah tamah khas Indonesia
Oleh; Eko SUDARTO[1]
Pagi yang mengejutkan
“Keramahtamahan dalam perkataan menciptakan keyakinan, keramahtamahan dalam pemikiran menciptakan kedamaian, keramahtamahan dalam memberi menciptakan kasih.”
– Lao Tse.
Tulisan sederhana ini adalah sebuah catatan pengalaman getir sekaligus memprihatinkan saya alami di suatu pagi yang sejuk di seputar kampus PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Peristiwa tersebut terjadi pada saat saya melakukan olah raga pagi dengan bersepeda. Ketika keluar kesatriaan, antrian kendaraan (mobil) nampak padat menunggu lampu hijau menyala. Saya berusaha menyelip maju diantara antrian kendaraan tersebut (karena tidak ada jalur sepeda), namun karena kurangnya keseimbangan dalam mengemudikan maka sepeda oleng dan badan saya menyentuh sebuah mobil dinas milik Polri. Diluar dugaan, klakson keras memekikan telinga berulang kali ditujukan pada saya. Saya mencoba menyadari kekeliruan dan mengabaikan klakson tadi dengan melanjutkan perjalanan menuju arah pasar Santa.
Diluar dugaan, kendaraan tadi lewat melintasi saya dan seseorang di kursi tengah menurunkan kacanya dia meneriakan sesuatu yang kasar (kalau diartikan “moron” Inggris). Kali ini saya membathin, beginikah perilaku seorang yang “bermobil”? Pasti orang tersebut seorang perwira menengah Polri, dan tentunya memiliki martabat yang baik. Sambil mengayuh sepeda, saya terus berfikir dan membatin, hingga akhirnya saya melihat mobil tersebut berhenti disuatu tempat tidak seberapa jauh di depan. Dengan penuh hormat (cool, calm dan confident), saya hampiri mobil tersebut sambil menunggu di samping pintu mobil sang “pejabat” untuk mengklarifikasi kejadian tersebut.
Sekali lagi diluar dugaan, si “pejabat”, yang notabene saya “kenal” tersebut dengan nada marah menghardik dan menunjukkan ketidaksukaan akan kehadiran saya. Untuk meredam amarahnya, saya perkenalkan diri dan ternyata hal itu sedikit efektif sehingga membuatnya menurunkan nada bicara, namun sekali lagi saya heran karena selama melakukan komunikasi dan memberikan penjelasan, “pejabat” tersebut sama sekali tidak mau melihatkan padangannya kepada saya. Permintaan maaf yang saya sampaikanpun ditanggapi dingin dengan terus memandangi smartphone-nya. Mungkin “beliau” memang sibuk sampai tersenyumpun tidak sempat, sayapun segera pamit dan berlalu dari hadapannya. Thanks’ God it’s my great day.
Kemana sikap toleransi, santun, dan ramah yang menjadi Citra Bangsa ini?
Peristiwa diatas menunjukan masalah moral terkait sikap toleransi, sikap sopan santun dan keramahtamahan. Ramah yang berarti baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan. Ramah adalah sesuatu yang berhubungan dengan senyum dan sapaan hangat.
Sebagaimana disadari, bahwa sejak dahulu penduduk bangsa ini (read: Indonesia) sudah dikenal dengan sebutan sebagai orang yang ramah, santun, dan bertoleransi, bahkan suka menolong sesama walaupun sebelumnya tidak saling mengenal. Toleransi antar umat beragama pun terjalin sangat baik, walaupun berbeda keyakinan mereka tetap rukun hidup bermasyarakat. Tidaklah mengherankan jika banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia untuk menikmati keindahan alam dan belajar mengenai seni budaya bangsa Indonesia, tidak sedikit pula wisatawan yang berkunjung untuk sekedar merasakan keramahtamahan penduduk negeri ini. Hal ini bukan tanpa dasar, bahwa anggapan terhadap warga Negara Indonesia sebagai orang yang ramah, karena mereka selalu disambut dengan senyuman dan keramahtamahan yang khas dari penduduk bangsa ini.
Namun kini, semua sifat-sifat itu seakan mulai pudar dan hilang dilanda arus globalisasi. Sifat-sifat sejati manusia seperti ramah, santun, toleransi seakan menjadi barang langka yang sangat susah dijumpai. Peristiwa diatas merupakan peristiwa yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, dimana ada orang yang mementingkan ego masing-masing, baik ego yang sifatnya pribadi, kelompok atau golongan. Manusia Indonesia seakan sudah tidak memiliki jati diri sebagai bangsa yang toleran dan ramah dan bahkan tidak sedikit wisatawan asing menjadi korban.
Ada fenomena, bahwa sikap ramah dan toleransi memudar tatkala seseorang mempunyai kedudukan atau jabatan dalam suatu instansi pemerintahan. Mereka beranggapan bahwa mereka telah mempunyai kedudukan jadi harus lebih dihormati. Hal ini sungguh menyedihkan bahwa kita yang seharusnya melindungi rakyat tetapi malah melakukan tindakan tidak tepat (unappropriated), hanya karena masalah yang sepele. Dalam peristiwa diatas, bukan tidak mungkin terjadi perdebatan jalanan seandainya tidak ada pihak yang bersikap “waras”. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila ramah tamah khas Indonesia masih kuat terjaga dengan baik. Sebuah gelombang perubahan besar kebudayaan telah menggerus norma-norma kehidupan lokal, namun apakah kita juga akan kehilangan ramah tamah khas Indonesia?
Untuk menjadi perenungan kita
Peristiwa diatas berkesan dalam bagi pribadi saya, karenanya timbul berbagai pertanyaan; apakah sifat ramah, santun, dan toleransi yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dulu sudah tidak berlaku lagi saat ini, atau sudah diganti dengan trend dan budaya asing yang cenderung bebas? Jika hal itu benar, dengan cara apa sikap tersebut dapat kembali melekat dalam kehidupan sehari-hari?
Catatan ini hanya sekedar refleksi pengingat bagi diri pribadi selaku Perwira Menengah Polri, agar senantiasa mampu mengendalikan diri dan tidak membangun jarak antara Pangkat (kedudukan) dengan lingkungan sosial dimana berada. Semoga kita semua, anak bangsa Indonesia dapat kembali menumbuhkan sikap dan sifat-sifat mulia tersebut karena pada dasarnya bangsa ini terkenal dengan kesantunannya, keramahannya dan sikap toleransi yang baik antar sesama.
[1] Kombes Pol, Analis Kebijakan pada NCB Interpol Indonesia sebagai mahasiswa program Doktoral pada STIK-PTIK, Jakarta.