WAMENA (30/9/2019)—Banyak penduduk asli Wamena mendatangi GKI Betlehem. Mereka menangis, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, mengapa persaudaraan di Lembah Baliem terkoyak.
Sebagai bentuk solidaritas, mereka membawa sayuran, hipere, betatas, atau apa pun hasil kebun yang dimiliki. Sayur-mayur dan bahan makanan tak henti membanjiri gereja yang menampung kurang lebih 650 pengungsi. Ketua Klasis GKI Baliem Yalimo, Pdt. Abraham Ungirwalu, menyatakan itu usai ibadah Minggu (28/9).
GKI Betlehem menjadi salah satu tempat penampungan pengungsi kerusuhan Wamena. Siapa pun yang ingin menyelamatkan diri dari kerusuhan, masuk ke gereja itu, dijamin keselamatannya.
Bahkan ia pasang badan. Biar dirinya mati lebih dulu sebelum perusuh masuk halaman gereja dan bertindak brutal. Apa pun agamanya, apa pun sukunya, mereka harus dilindungi.
Selain GKI Betlehem, kompleks GKI yang menjadi tempat penampungan pengungsi adalah Gereja Laharoi, Gereja Maranatha, dan Gereja Immanuel. Selama situasi belum kondusif, GKI terbuka dan menjadi zona aman dan nyaman bagi pengungsi.
Rasa ingin tahu membawa saya kembali ke GKI Betlehem untuk mengenal penduduk Lembah Baliem berhati mulia yang menyuplai bahan makanan untuk pengungsi. Percakapan dengan Pdt. Bram terhenti dengan hadirnya Penginjil Philipus Hubi.
Saya mengenalnya ketika mengunjungi pertanian yang dibina Binmas Noken Mabes Polri. Penginjil itu turut menghimpun warga masyarakat dan menyediakan lahan untuk membangun pertanian organik.
Masyarakat asal Kampung Musaima II Distrik Hubikiak itulah yang mendatangi gereja, menyerahkan hasil bumi untuk para pengungsi. Mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat Lembah Baliem cinta damai. Bukan mereka yang melakukan tindakan brutal, menghancurkan kota.
Saya turut menjadi saksi buah ketekunan Binmas Noken ketika bertemu Philipus Hubi. Mendekati masyarakat melalui pertanian (atau apa pun kegiatannya) tidak hanya berbuah sayur-mayur tetapi juga terbentuknya kesadaran hidup bersama dalam bingkai pluralisme bangsa Indonesia. (*)